Resume
This story tells about a boy named Dimas who wants to help a couple of grandfather and grandmother. They sell a piggybank made by clay. Dimas aside his money to buy the piggybank. He persuades his friend to do the same thing.
However, after the piggybank has purchased, Dimas confused. He doesn't know what he has to do with the piggybank. Therefore, he just put his money to the piggybank until it is full of cash. Ajeng, her sister, suggests him to donate it to a charity event, dedicated to cancer's patients.
However, on their way to the charity event, Dimas see that the piggybank's seller are moving out. They take a cart full of piggybank. Lately he understand that they have to move away because a landlord wants to build a restaurant, near their usual place to trade. Perhaps the couple of grandfather and grandmother thought, the restaurant will make them uncomfortable because the parking area is going to run over their usual place to trade.
Idea
I got the idea when my brother and I saw a couple of grandfather and grandmother sold a piggybank at Gejayan Street, Yogyakarta. They sold their things since morning until dawn. That's why, whenever I passed the street, I asked to myself, "Will someone buy their goods? Do they get enough money for today?"
One day, I stayed at Semarang for few days because it was a fasting period. My brother texted me, "Ramadhan blessings. I saw two people bought the piggybank at dawn." Oh, I was so happy at that time :)
Just like Dimas, honestly I wanted to help them, but I was quite confused about my way. I had a desire to bring some food to them (because I ever saw them ate "nasi jagung" for their lunch), but I was afraid if I offended them. However, if I bought their goods, I didn't know what I had to do with the piggybank, because nowadays people deposit their money in bank toch? Not in a piggybank.
Then one day, I realized that they were gone. Few days later, some construction workers built a restaurant near their usual place to trade. That's why, I decided to write this children stories. Nevertheless, after few times I tried to send this story to Bobo, Kompas, etc, this story was never published. So I sent this story to Utusan, a monthly Chatolic magazine and the editor said, he understood my feeling towards them. I didn't know that he also saw the piggybank's seller everyday at his way to work. I do wanna give the honorarium to the piggybank's seller but until now, at my fifth years of college, I never saw them again. Ah, wat jammer :(
***
Celengan
Gerabah
Dua kali melewati jalan itu,
Dimas memperhatikan seorang kakek yang menggelar dagangannya. Beragam
celengan dari tanah liat dijualnya. Ada yang berbentuk macan, ayam,
juga zebra.
Kakek itu berjualan di pinggir
jalan. Di sampingnya terdapat puing-puing rumah makan. Dimas yang
melihat hal itu lalu bercerita pada Ajeng, kakaknya.
“Jarang ada orang berjualan
celengan tanah liat di Yogyakarta selain saat Sekaten. Beda dengan di
Semarang, setelah lewat masa Dugderan pun tetap ada orang yang
berjualan celengan,” balas Ajeng.
Dia tahu banyak tentang Sekaten
dan Dugderan karena Ibu pernah mengajaknya ke sana. Sekaten, yang
biasa diadakan di alun-alun Solo dan Yogyakarta, adalah pasar rakyat
yang diselenggarakan untuk memperingati Maulid Nabi. Sedangkan
Dugderan merupakan festival di Kota Semarang untuk memperingati
datangnya bulan puasa.
Nama Dugderan sendiri berasal
dari kata “dug” dan “der”, yang merupakan bunyi bedug dan
meriam. Jaman dulu, kedua benda itu dipakai untuk menginformasikan
kapan datangnya bulan puasa.
Dimas mengangguk. “Lagipula,
jaman sekarang siapa sih yang masih menabung di celengan tanah liat
seperti itu? Bikin uang jadi berbau apak saja,” gerutunya.
“Eits, jangan salah. Ayu masih
mau memakai celengan tanah liat lho,” kata Kak Ajeng sambil
menunjuk celengan milik Ayu, adik mereka.
“Ah, paling-paling Ayu hanya
suka bentuknya saja,” komentar Dimas.
Dia pun tidak membahas masalah
itu lagi. Namun beberapa hari kemudian, Dimas melihat pemandangan
berbeda. Dagangan kakek itu tidak lagi dijaga olehnya. Namun oleh
seorang nenek yang mengenakan kain lurik.
“Mungkin istrinya,” pikir
Dimas.
Tebakannya benar. Esoknya dia
melihat nenek itu berjualan lagi, kali ini ditemani suaminya. Mereka
berdua sedang makan nasi berbungkus daun pisang. Setelah makanannya
habis, kakek-nenek itu duduk menunggu dagangannya dibeli orang.
“Padahal sudah malam, tapi
masih berjualan,” pikir Dimas. Dia jadi tergerak untuk melakukan
sesuatu bagi kakek-nenek itu supaya dagangan mereka tidak sepi
pembeli.
“Kakak beli saja celengan tanah
liatnya!” saran Ayu.
“Hah? Buat apa?”
Ayu mengedikkan bahu. Dimas
berpikir keras. Sebetulnya ide adiknya itu tidak buruk juga. Kalau
hanya memberi uang, tentu kakek-nenek itu tidak mau menerima kan?
Keesokan harinya, Dimas
membulatkan tekad untuk tidak jajan. Dia sengaja meminta Ibu
membuatkannya bekal. Di sekolah, Dimas lalu bercerita tentang kondisi
kakek-nenek itu pada teman-temannya. Dia mengajak mereka melakukan
hal yang sama, menyisihkan uang untuk membeli celengan.
Tidak disangka, mereka antusias
mendengar idenya. Wah, Dimas senang sekali! Ia membayangkan muka
bahagia kakek-nenek itu saat tahu dagangannya nanti laris dibeli.
Selama dua minggu berikutnya,
Dimas berhasil mengumpulkan uang Rp 35.000,00. Dia lalu pergi ke
tempat kakek-nenek itu berjualan sambil membawa dua bungkusan.
Isinya, nasi jagung dan rempeyek ikan teri yang dibeli Ibu dari
pasar.
Dimas lalu memilih-milih celengan
yang akan dibeli. Saat membayar, dia sengaja tidak mau menerima uang
kembalian. Dimas justru menyodorkan bungkusan yang dibawa.
“Ini untuk Kakek dan Nenek,”
kata Dimas malu-malu.
Mata kedua orang itu
berkaca-kaca. Mereka tidak henti mengucap syukur dan mendoakan Dimas
serta keluarganya. Dimas sampai tidak enak hati karena didoakan terus
seperti itu.
Dia lalu berpamitan pulang.
Sampai di rumah, Dimas kebingungan. “Sekarang celengan ini mau
digunakan untuk apa?”
Saat membeli, Dimas hanya
memikirkan untuk membantu melarisi dagangan kakek-nenek itu. Kini dia
tidak tahu harus berbuat apa. Setelah dua minggu tidak jajan, Dimas
tidak rela kalau harus menyisihkan uang saku lagi dan menabung di
celengan.
Mau diberikan ke Ayu, tidak
mungkin. Ayu sudah punya celengan tanah liat sendiri. Sedangkan Kak
Ajeng tidak pernah menabung uang sakunya di celengan, melainkan di
bank.
Akhirnya tiap pulang sekolah,
Dimas iseng memasukkan uang logam yang didapatnya dari kembalian.
Seratus rupiah, dua ratus rupiah, lima ratus rupiah, hingga uang
logam seribu rupiah pun ikut dimasukkannya. Akhirnya celengan tanah
liat itu penuh juga. Saat hendak memecah celengan, Kak Ajeng
mencegahnya.
“Disumbangkan untuk anak-anak
penderita kanker saja,” usulnya.
Hari Minggu nanti memang ada
acara amal membantu penderita kanker. Selain bisa memotong rambut
untuk merasakan penderitaan penderita kanker, tiap orang juga bisa
menyumbangkan uang. Berapa saja, seikhlasnya. Kebetulan Kak Ajeng
ikut menjadi panitia acara.
Dimas setuju. Bersama Kak Ajeng,
dia membawa celengannya itu untuk disumbangkan. Namun di tengah
jalan, Dimas melihat sesuatu.
Kakek penjual celengan tanah liat
itu sedang menarik gerobak tua. Istrinya berjalan di belakang sambil
membantu mendorong gerobak mereka. Di atas gerobak, berjejer dagangan
celengan tanah liat milik mereka, tertutup terpal warna biru.
“Loh, mereka mau pindah ke
mana?” tanya Dimas kebingungan.
Dimas melirik tempat berjualan
kakek-nenek itu. Sudah tidak ada apa-apa, hanya tanah berdebu. Di
sebelahnya, pekerja sibuk menaikkan papan reklame.
Ternyata di bekas rumah makan
yang sudah dihancurkan, muncul rumah makan baru. Mobil pembeli pun
berjubel di tempat parkir, hingga melewati tempat kakek-nenek itu
biasa berjualan.
“Pantas sekarang mereka pindah.
Pasti tidak enak kalau tidak bisa berjualan dengan leluasa,” pikir
Dimas sedih.
Dia kesal karena tidak bisa
berbuat apa-apa. Tapi Dimas senang, setidaknya, dulu dia sudah sempat
membantu. Sekarang, uang receh di celengan tanah liat itu bisa
dipakai untuk membantu anak-anak penderita kanker yang seumuran
dengannya.
0 komentar:
Post a Comment