Until now, I'm not satisfied with the result. I know, I was very happy when I came to Jakarta Vintage's shop and interviewd Luthfi Hasan, but.. I hate to say that this writing is meaningless and quite similar with others.
I became more annoyed when weeks after I resigned as the intern reporter of Tempo, I found out that Kompas published an article about vintage furniture. It was published at Sunday edition, second insert, and included Luthfi Hasan as one of the source and Jakarta Vintage as the reference. There was another shop which became the reference, but I forgot the name.
When I read that article, I thought.. "Oh, wow. This article was successfully dig in the meaning, not only some facts about vintage shop's business. Why I did not ask such of those question when I had a chance to interview Luthfi Hasan? My bad."
Anyway, I decided to re-post and did a little editing because of the tiny mistakes at the last part of the article. Please kindly read and tell me about what do you think about this news, by write it on the comment box below. Thanks!
***
Furnitur Jakarta Vintage, Awalnya Hobi, Akhirnya Jadi Hoki
Furnitur Jakarta Vintage, Awalnya Hobi, Akhirnya Jadi Hoki
sumber: dokumen pribadi |
TEMPO.CO, Jakarta - Hobi
mengumpulkan barang kuno membawa hoki bagi Luthfi Hasan. Berkat ketekunannya
mengoleksi barang jadul, pria yang aktif menulis di blog itu
mendapat tawaran menjadi kurator dari sebuah rumah lelang. "Saya memang
menggemari benda-beda lama," kata Luthfi saat ditemui di Jakarta, Selasa,
29 September 2015.
Tepatnya pada November 2012, Luthfi memulai debutnya menjadi kurator dan bisnis sampingan barang-barang furnitur secara daring (online). Meski sebagai usaha sampingan pada Januari 2013, ia menamakan "dauyr ulang" karena saat itu hanya sebatas memperbaiki furnitur lama dan tidak terpakai.
barang bekas itu kemudian dipermak sehingga tampak baru dan menawan. Mulai dari memvernis hingga mengubah bentuk, ia jalani dengan tekun. Usahanya tu berlanjut hingga mengantarkan Luthfi membuka "lapak" penjualan furnitur lawas di pusat belanja Dharmawangsa Square, Jakarta Selatan. Toko itu dinamainya sesuai nama blognya, "Jakarta Vintage".
Memasuki toko Jakarta Vintage, pengunjung akan melewati pintu tua berwarna hijau serta etalase kaca bertuliskan Life is about looking forward, unless it's vintage. Semboyan yang sama tertulis di dalam, di hiasan dinding sebelah papan tulis hitam-putih yang memuat nama toko tersebut.
Pada etalase yang sama, terpajang dua kursi tanpa lengan dengan bantalan empuk dan warna dominan hitam. Salah satunya memiliki bantalan punggung dengan hiasan belah ketupat berwarna-warni dari sulaman tangan. Di dalam toko, beragam kursi jengki yang populer di penghujung tahun 1970-an sudah terpoles.
Dua kursi lawas di antaranya dipoles dengan bantalan berwarna putih, bercorak gurung dan matahari yang mewakili suasana California, Amerika Serikat. Bahan kain yang dipakai merupakan bekas handuk yang berasal dari negara tersebut. Di dekatnya, lima kursi makan berwarna cokelat, biru, oranye dan putih menempel di dinding.
Beragam kursi ini bercampur dengan koleksi lawas milik Luthfi di toko. Seperti patung porselen, hiasan tanduk rusa, timbangan tua maupun piringan hitam dan pemutarnya. Semuanya acak, tanpa motif atau gaya tertentu yang dominan.
"Lima tahun lalu orang-orang menjual furnitur apa adanya, jadi tidak ada kreativitas atau inovasi. Begitu saya coba tampilkan dengan unsur-unsur lain, furnitur lawas itu jadi kelihatan segar dan unik, sehingga bisa dijual dengan harga lebih tinggi," kata Luthfi kepada Tempo di tokonya, Selasa, 29 September 2015.
Awalnya, karena pelanggan pertamanya kebanyakan adalah ekspatriat, Luthfi berkreasi dengan memperbaiki furnitur tua yang tidak terpakai, lalu memberinya tambahan bantalan kursi dari bahan unik. Seperti linen bekas handuk tangan dari luar negeri yang kuat dan memiliki corak-corak khas negara tersebut, sebagai bantalan kursi.
Makin banyak orang yang menggemari barang-barang dagangan Luthfi. ia pun mencoba mengubah produknya dengan tidak lagi mendaur ulang. Namun, langsung membuat furnitur dari bahan kayu jati tua. Material ini diperoleh dari kusen bekas bongkaran rumah kuni di Jawa Tengah.
Luthfi berkreasi dengan beragam material, motif dan warna. Antara lain, kain yang ia desain sendiri (beberapa desain ia gabungkan dari koleksi barang vintage miliknya), bulu imitasi, beludru, hingga kulit sapi. "Kekuatan kami ada di orisinalitas. Kami bermain berani dengan material, motif maupun warna supaya tetap menyenagkan. Jadi, setipa desain selalu ada twist-nya," kata Luthfi, yang tiap tahun mengeluarkan empat koleksi furnitur di Jakarta Vintage ini.
Cara ini membuat Luthfi kebanjiran pesanan. Omzetnya menembus Rp 100 juta sebulan. Omzet itu di luar jasa dsain rumah, kantor maupun kafe yang juga ia tawarkan. Padahal harga kursi yang Luthfi tawarkan sangat bervariasi, mulai dari Rp 2 juta hingga Rp 11 juta.
Untuk meja, ia tawarkan ulai dari Rp 2,5 juta hingga Rp 4,5 juta. Luthfi menyebut , dari mengolah furnitur bekas hingga menjadi layak jual tersebut, ia bisa mendapat keuntungan tiga kali lipat. Sedangkan untuk pemasaran, Luthfi rajin berpromosi di media sosial seperti Facebook, Twitter dan Instagram, juga ikut pameran.
Penulis buku Happy Vintage ini percaya, kegemaran orang akan barang lawas akan terus tumbuh. barang-barang lama bisa dianggap membawa keadamaian, kebahagiaan dan ingatan ke masa lalu yang hangat bagi si empunya.
INEZ CHRISTYASTUTI HAPSARI
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete