Resume
This story tells about Lia who runs into a bad day at school. She is sad and has no energy to finish her day because Father has leave her and her family to study in Den Haag, Holland. However, in the end, Lia doesn't give up to face her problem. A Father's surprise and spirit when he calls his family makes Lia remember about her promise that a Father's daughter shall not be jaded.
Idea
Actually, this is an emotional story for me. During this 23 years, my father had left my family twice. First, he took a master degree at University of Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia when I was at Elementary School. Fortunately, Yogyakarta is not far away from my hometown in Semarang, Central Java Province. But at the second time, my father took a doctoral degree at Rijksuniversiteit of Groningen, Holland when I was at my last year of Junior High School-early year of Senior High School. He came back home only once in a year. So, you can imagine how I had to face the difficulties and uncomfortable situations. Because of that condition, my mother and I started to learn using email, Skype and other applications, because it were the cheapest media to communicate with him everyday. During that time, we often sang You'll be in My Heart, the ost of Tarzan, performed by Phill Collins, to strengthen ourselves. Oh, it was very hard to live apart from you family and your beloved one.
I tried to combine it using the old version of Photo Joiner so you can read it directly from the newspaper version, but it left some blank space in the middle 😞 |
***
Saat Ayah Kuliah
Lia tidak bisa tidur. Biasanya ada Ayah yang mendongeng untuknya
sebelum tidur. Tapi kini Ayah pergi. Ia
lalu melongok ke kamar Ibu di sebelah.
”Ibu, malam ini Lia tidur di sini ya?” pintanya.
Digoyang-goyangkannya badan Ibu sampai Ibu terbangun.
Ibu mengucek matanya. ”Lia,
ingat apa janjinya
sebelum Ayah pergi? Belajar tidur sendiri,
begitu kan?”
”Tapi Lia takut...,”
jawab Lia pelan. Namun Ibu sudah mendorongnya keluar.
Lia kebingungan. Ia tak mau kembali ke kamarnya
dan tidur sendirian, tapi tidur di kamar Ibu juga tak memungkinkan.
Diam-diam Lia mengintip ke dalam kamar Ibu
melalui celah pintu.
”Ibu sudah tidur!” pikirnya senang.
Lia lalu masuk ke dalam. Dicarinya celah di antara
badan Ibu dan Ari, adiknya yang berusia dua tahun. Tapi
tak ada ruang kosong sama sekali.
”Masa aku harus tidur di bagian bawah?” pikirnya bimbang.
Lia lalu memaksakan diri tidur di bagian bawah ranjang. Rasanya
benar-benar tidak nyaman. Ia tak bisa berguling-guling agar dirinya
tak tertendang kaki Ibu atau Ari.
Paginya, Ibu kaget saat menemukan Lia tidur di
ranjang dekat kaki. Lebih kaget lagi saat melihat jam dinding yang
sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.
”Lia, ayo bangun!”
Lia terbangun dengan kaget. Ia melihat ke arah jam dinding lalu
cepat-cepat mandi, mengenakan seragam dan pergi ke sekolah. Ia tak
sempat sarapan sama sekali.
Lia sudah terlambat saat tiba di sekolah. Ia baru
sadar topinya tertinggal di rumah. Jadilah
Lia menerima dua hukuman, karena terlambat dan karena tak membawa
topi saat upacara.
”Coba Ayah masih ada di rumah,” pikirnya
sedih.
Biasanya Lia jarang berangkat sendiri naik sepeda
ke sekolah. Selalu ada Ayah yang mengantarnya. Ayah juga selalu siap
membawanya kembali ke rumah saat ia sadar ada peralatan sekolah yang
tertinggal.
”Uh, Lia kangen Ayah.”
Rasa kangen Lia makin bertambah di kelas. Ia tak
paham apa yang diajarkan Bu Ruri, guru matematikanya. Kalau sudah
begitu, biasanya Ayah membantunya belajar saat di rumah. Tapi
Ayah kan sudah pergi..
Ah, Lia jadi ingin mendapatkan beasiswa bersekolah
ke luar negeri supaya bisa menyusul Ayah!
Tak enak rasanya kalau anggota keluarga di rumah tak lengkap begini.
Dulu sebelum Ayah pergi, Ibu juga pernah tinggal di luar kota selama
berbulan-bulan karena tugas. Untung sekarang Ibu sudah tak bertugas
dan bisa tinggal di Semarang lagi.
”Lia, bagaimana hari pertamamu tanpa Ayah?” tanya Wuri, teman
sebangkunya.
”Buruk,” jawab Lia lemah.
Sebetulnya Lia senang Ayah pergi. Lia
kan jadi bisa bercerita tentang Ayah dengan bangga pada
teman-temannya. Ayah yang pintar, yang
mendapat beasiswa untuk bersekolah hukum di luar negeri. Ayah yang
menjanjikan oleh-oleh saat ia pulang nanti. Tapi baru satu hari Ayah
pergi, Lia sudah merasa berantakan begini. Padahal Ayah baru akan
pulang dari Belanda paling tidak setahun
lagi.
”Tahu begitu, lebih baik Ayah tak usah pergi,” sesalnya dalam
hati.
Saat jam pulang sekolah, Lia melangkah dengan
gontai ke rumah. Ia tak banyak bicara,
hanya makan sedikit lalu tidur di kamarnya. Namun saat bangun tidur,
Lia mendapat kejutan.
”Lho, Ayah?!” katanya
kaget.
Ada gambar muka Ayah di layar komputer rumah!
Rupanya Ibu sedang bercakap-cakap dengan
Ayah lewat internet. Ibu duduk menghadap komputer sambil memangku
Ari.
”Bagaimana harimu, Sayang?” tanya Ayah.
”Berantakan,” jawab Lia sambil mendekatkan
mulutnya ke mikrofon di headset
yang kini terpasang di telinganya.
Di sebelahnya, Ibu menimpali. ”Iya, berantakan. Nggak biasanya jam
tujuh pagi baru bangun tidur. Belum mandi, lagi,” sindir Ibu
membuat Lia tersipu.
Ayah terlihat tidak senang.. “Hei, Lia kan
sudah berjanji. Anak Ayah..”
“Anak Ayah nggak boleh payah begini!” Lia
menyelesaikan kata-kata Ayah. ”Maafkan aku, Ayah. Besok
Lia akan berusaha lebih baik lagi,” janjinya.
Ayah tersenyum senang. Ia lalu bercerita. “Di
sini sedang musim gugur, suhu udaranya
mulai dingin dan agak berangin,”
jelasnya.
”Oh ya, beda waktu antara Den Haag,
tempat Ayah bersekolah dan Jakarta sekitar
lima jam saat
musim semi dan musim panas. Tapi kalau musim gugur dan
musim dingin seperti sekarang, beda
waktunya enam jam. Itu berarti, pukul tujuh malam di Jakarta
sama dengan pukul satu siang
di sini,” lanjutnya. Tapi suara Ayah
mendadak terdengar tidak jelas.
“Ayah, aku tak bisa mendengar kata-kata Ayah!” seru Lia.
Ibu dan Lia berusaha membenarkan kabel headset
supaya suara Ayah
bisa terdengar normal kembali. Tapi sepertinya memang terjadi
gangguan sinyal internet, karena tahu-tahu wajah Ayah
menghilang dari layar
komputer.
Lia kecewa, ia tak bisa mendengar gambar muka dan suara Ayah. Namun
Ayah sudah mengetikkan kata-kata lanjutan di kolom obrolan di layar
komputer itu.
“Sepertinya sedang ada gangguan internet ya? Ya
sudah, kita sambung saja obrolannya lain kali. Baik-baik ya semuanya
di Jakarta. Saling membantu, saling memperhatikan. Ik
hou van je all,” tulis Ayah.
”Artinya?” ketik Lia. Ia mengerutkan keningnya, bingung.
“Aku cinta kalian semua..”
Ibu dan Lia tersenyum senang. Kata-kata Ayah itu
menjadi sumber kekuatan bagi mereka. Ibu
menuliskan kata-kata perpisahan lalu mematikan komputer.
”Coba kamu sudah bisa membaca, Ari. Pasti kamu akan senang membaca
pesan Ayah ini,” kata Lia sambil mencubit pipi Ari. Mukanya kini
terlihat berseri-seri.
“Aku akan bertahan dan memenuhi janjiku pada Ayah,” janji Lia
pada diri sendiri.
0 komentar:
Post a Comment