Hi! This is another story which I wrote for Christmas, which I wrote around June 2014.
I remember, when I was child, around 4 or 5 y.o, I was very afraid with the scavenger. It was because my parents always tease me by saying that the scavenger will kidnap and hidden me in his sack if I was naughty.
It became worse because when I was in kindergarten, my mom listed my name as one of the gift receiver from Sinterklas, in a mall. What I did not know, the Sinterklas came along with Zwarte Piet or The Black Piet. I was crying out loud because the Zwarte Piet looked so scary. His face is all black, perhaps painted with paint. Of course, he only became the side actor which was used by Santa to remind children to behave nicely for a year ahead. However, I was very afraid and refused to the stage without my mom.
It became worse because when I was in kindergarten, my mom listed my name as one of the gift receiver from Sinterklas, in a mall. What I did not know, the Sinterklas came along with Zwarte Piet or The Black Piet. I was crying out loud because the Zwarte Piet looked so scary. His face is all black, perhaps painted with paint. Of course, he only became the side actor which was used by Santa to remind children to behave nicely for a year ahead. However, I was very afraid and refused to the stage without my mom.
That memory inspired me to write this, along with another memory of my aunt's house in Batang, who always provide a clay jug filled with water and a pinch of water as jimpitan. I tried to put another message here, such as being aware of stranger for kids, but what impressed the most, perhaps, is the prejudice. Of course that is not a good side and for the editor might have an impression that this story potentially corner a profession, which is being a scavenger. That is why I was not pretty surprise if Bobo rejected it. However, I am still loving this story because like my father said, it might not be very imaginative, but it is classic ❤
Ah, looking back to the history of Zwarte Piet, I realize that perhaps, the other reasons about why mass media rejected it because of the controversy over the character. Zwarte Piet, or the Black Piet, came from Holland tradition where he became the helper of Sinterklass, a kind pastor--remember, it is totally different with Santa Clauss; even their appearance, costume and root history is different. Its physical appearance, who is black, with curly hair and red also thick lip perceived as the presentation of racism, since they also came from with dialect of Java-Suriname, one of the colonies of Dutch in America continent.
Well, what a complicated (his)story. But please kindly read, use your imagination and enjoy your time! Last but not least, don't forget to put the source if you want to use this story. Don't do any kind of plagiarism, okay?
Ah, looking back to the history of Zwarte Piet, I realize that perhaps, the other reasons about why mass media rejected it because of the controversy over the character. Zwarte Piet, or the Black Piet, came from Holland tradition where he became the helper of Sinterklass, a kind pastor--remember, it is totally different with Santa Clauss; even their appearance, costume and root history is different. Its physical appearance, who is black, with curly hair and red also thick lip perceived as the presentation of racism, since they also came from with dialect of Java-Suriname, one of the colonies of Dutch in America continent.
Well, what a complicated (his)story. But please kindly read, use your imagination and enjoy your time! Last but not least, don't forget to put the source if you want to use this story. Don't do any kind of plagiarism, okay?
***
(Pak)
Piet Hitam
Kamu tahu Piet Hitam? Kata Kak Tina, kalau kita tidak menjadi anak yang baik, saat Natal, Piet hitam akan menculik kita.
“Tapi, bagaimana caranya?” tanyaku heran.
“Tapi, bagaimana caranya?” tanyaku heran.
source: Pinterest |
“Gampang.
Dia selalu membawa karung ke manapun dia pergi. Karung itu untuk
menampung anak-anak nakal sepertimu,” kata Kak Tina sok tahu.
“Karung
seperti itu?” kataku sambil menunjuk tukang sampah yang kebetulan
lewat.
Ia
sedang mengorek tong sampah dengan penggaruk yang dibawanya. Sebuah karung tersampir di pundak.
Karung itu terlihat penuh.
“Ya,
seperti itu,” kata Kak Tina menakutiku.
Sejak
itu, aku selalu takut dengan sosok tukang sampah. Apalagi karena
setiap kali aku nakal atau berbuat kesalahan, Kak Tina selalu
menakutiku dengan cerita tentang Piet Hitam.
Suatu
hari, Ibu memintaku memberikan roti untuk tukang sampah yang biasa
melintas di depan rumahku.
“Ah,
Ibu saja yang memberikan! Aku tak mau,” kataku ketakutan. Ibu
mengernyit kebingungan, tapi akhirnya menuruti keinginanku.
Lain
kali, Ibu berinisiatif menaruh kendi di depan rumah. Kendi itu berisi
air bersih yang diganti setiap hari. Di atasnya, Ibu menaruh gelas plastik
sebanyak tiga buah.
“Buat
apa, Bu?” tanyaku heran.
“Siapa
tahu ada pengemis, orang tua atau pedagang yang lewat depan rumah
kita dan kehausan,” jawab Ibu.
Namun
saat kuamati, jarang sekali orang lewat dan minum air dari kendi.
Kecuali tukang sampah yang lewat di depan rumahku itu.
Aku
bergidik ngeri. Ingin rasanya menyingkirkan kendi berisi air itu, tapi
rencana itu lebih dulu diketahui Ibu.
“Apa
salahnya sih berbuat baik. Lagipula, sepertinya kamu kesal sekali
pada tukang sampah itu,” kata Ibu jengkel.
Aku
diam saja. Mana mungkin aku cerita tentang Kak Tina yang selalu
menakutiku dengan cerita tentang Piet Hitam itu.
Esoknya,
aku mendapat masalah. Sepertinya tukang sampah itu tahu aku tak suka
padanya. Makanya, ia berusaha membalasku. Aku harus menunggu di
sekolah selama satu jam. Padahal biasanya Ayah selalu tepat waktu
saat menjemputku.
Jarak
sekolah dengan rumahku memang tidak begitu jauh, tapi sebelum sampai
rumah aku harus melewati jalan raya dulu. Saat aku sedang menunggu,
tiba-tiba tukang sampah itu lewat.
“Belum
dijemput?” tanyanya. Dengan takut-takut aku menggelengkan kepala.
Selama
ini, selain takut pada karung yang dibawanya, aku juga takut
pada mukanya. Brewok dan cambang yang membingkai mukanya membuatnya
tampak menyeramkan. Belum lagi sorot matanya yang selalu menatap
tajam.
“Bapak tahu di mana rumahmu. Rumah berpagar abu-abu yang ada kendi airnya
itu kan? Sini, biar Bapak antarkan,” katanya.
Aku
semakin ketakutan. Mama selalu bilang supaya tidak bicara, apalagi
pergi dengan orang yang tidak kukenal. Serta-merta aku lari karena
panik, tapi ia menahan tanganku.
“Aduh!”
Aku
jatuh di tanah. Lututku berdarah. Dengan posisi seperti ini aku tidak
bisa melarikan diri. Panik, aku coba menjerit, tapi Bapak itu buru-buru menenangkanku.
“Tenang,
bapak tidak akan menculik kamu kok. Bapak orang baik-baik,” katanya
seolah bisa membaca pikiranku.
Karena tidak punya pilihan, aku memutuskan menerima bantuannya. Namun aku tetap berjaga-jaga dengan berjalan agak jauh darinya.
“Jangan
berjalan di dekat jalan, nanti tertabrak,” katanya mengingatkan.
Ia berusaha menjejeriku. “Ngomong-ngomong, terima kasih. Karena kendi
air itu, Bapak tidak kehausan lagi saat berada di jalan.”
Kulihat
sorot mata bapak itu begitu ramah. Berbeda sekali dengan bayanganku
selama ini. Serta-merta aku merasa bersalah karena ingin
menyingkirkan kendi air di depan rumah. Siapa sangka kendi
itu berguna bagi banyak orang.
Kuulurkan
tangan untuk berkenalan. “Nama saya Andy. Bapak siapa?” tanyaku.
“Pak
Piet, panggil saja begitu,” sahutnya.
Glek!
Namanya mirip dengan Piet Hitam! Mereka juga sama-sama membawa
karung. Namun Pak Piet yang satu ini ramah. Sepanjang perjalanan ia cerita tentang anaknya yang seumuran denganku. Katanya, anaknya tidak bersekolah meski sempat mengenyam bangku SD hingga kelas lima.
“Lain
kali kalau Pak Piet lewat di depan rumah, mampir saja. Nanti Andy pinjamkan buku untuk dibaca anak bapak di rumah,” kataku.
Mata
bapak itu bersinar bahagia.
Sepuluh menit berjalan, kami sampai di depan rumah. Ibu tampak lega saat melihatku.
Sepuluh menit berjalan, kami sampai di depan rumah. Ibu tampak lega saat melihatku.
“Ayah
baru saja menelepon, katanya lupa menjemputmu. Untung kamu bertemu
dengan Pak..,” pandang Ibu kebingungan.
“Piet,
panggil saja begitu, Bu,” kata Pak Piet sopan.
“Ah,
ya. Terima kasih sekali Pak. Maaf sudah merepotkan,” kata Ibu.
Pak
Piet pun berpamitan. Setelah Pak Piet pergi, aku bercerita pada Ibu
tentang Kak Tina yang mencoba menakutiku selama ini. Mata Ibu
langsung melotot marah.
“Dasar
kalian ini! Tidak baik bercerita begitu, membuat orang berprasangka
buruk pada orang lain,” sahut Ibu.
Kak Tina diam saja saat dimarahi Ibu. Hanya aku yang tersenyum sendiri, karena tahu kalau Pak Piet yang satu ini tidak menakutkan seperti cerita kakak tentang Piet hitam itu.
Kak Tina diam saja saat dimarahi Ibu. Hanya aku yang tersenyum sendiri, karena tahu kalau Pak Piet yang satu ini tidak menakutkan seperti cerita kakak tentang Piet hitam itu.
0 komentar:
Post a Comment