Hi! This is a children story which inspired by my brother story at his graduation. He said, the niece of his girlfriend as well as the daughter of the Es Masuk Restaurant owner in Solo, already helped the employee in cashier when she was around five y.o (if I do not mistakenly remember).
I combine it with my bad habit that always records all of the transactions in a book but find out that the money is slightly different than what it should be. I guess I am that bad with accountancy because I feel confused whenever I borrow money from a section (e.g. fuel section, holiday section, investment section, etc.) then committed to returning it later. You should see my bookkeeping. I have been recorded the transaction from the most professional way, in a sophisticated accountancy table--at least, it was advanced for me as an SHS student who learned it from Pak Keni, the smartest accountancy teacher in my SHS--to the silliest calculation to make it understandable. However, that problem still appears numerous times. One thing for sure, I am grateful that my classmate seldom pointed out me to be the class treasurer. But then, this story is created to commemorate that confinement.
Ah, I remember another thing. My SHS friend, Cynthia said that Kak Revina, her sister ever dreamed to be a cashier. She thought that job is the most joyous position because she could have a lot of money. Considering children's imagination, I understand how she could feel that way but at the same time, laugh at her silly perception. She didn't know that all the money that collected by the cashier in the supermarket or other places are just someone else's money, not her ☺
I combine it with my bad habit that always records all of the transactions in a book but find out that the money is slightly different than what it should be. I guess I am that bad with accountancy because I feel confused whenever I borrow money from a section (e.g. fuel section, holiday section, investment section, etc.) then committed to returning it later. You should see my bookkeeping. I have been recorded the transaction from the most professional way, in a sophisticated accountancy table--at least, it was advanced for me as an SHS student who learned it from Pak Keni, the smartest accountancy teacher in my SHS--to the silliest calculation to make it understandable. However, that problem still appears numerous times. One thing for sure, I am grateful that my classmate seldom pointed out me to be the class treasurer. But then, this story is created to commemorate that confinement.
Ah, I remember another thing. My SHS friend, Cynthia said that Kak Revina, her sister ever dreamed to be a cashier. She thought that job is the most joyous position because she could have a lot of money. Considering children's imagination, I understand how she could feel that way but at the same time, laugh at her silly perception. She didn't know that all the money that collected by the cashier in the supermarket or other places are just someone else's money, not her ☺
Please kindly read, use your imagination and enjoy your time! Hehe. Last but not least, don't forget to put the source if you want to use this story. Don't do any plagiarism, okay?
***
Bendahara
yang Baik
“Leisa, main yuk!” ajak Dhini.
Leisa menggeleng. “Aku mau membantu
Ibu.”
Dhini dan teman-teman maklum.
Leisa memang selalu membantu Ibu sepulang sekolah. Keluarganya punya rumah
makan yang menjadi satu dengan rumah. Meski Ibu tidak memaksa, tapi Leisa
sering membantu sebagai kasir di sana.
“Daripada bosan di rumah,” komentarnya.
Rumah makan itu memang terletak di
bagian depan rumah. Tapi, Ibu selalu sibuk di sana. Leisa jadi kesepian karena ditinggal
sendirian di rumah.
Suatu hari, Leisa tidak masuk
sekolah. Saat masuk, Dhini dan kawan-kawan buru-buru meminta tolong padanya.
“Bantu jadi bendahara ya, Sa,” kata
Dhini.
Sebulan lagi, sekolah akan mengadakan
bazaar. Tiap kelas boleh membuka stan
di sana. Kelas Leisa sudah memutuskan menjual kartu ucapan tiga dimensi. Tapi,
murid-murid perlu mengumpulkan uang sebelum membeli bahan yang diperlukan. Tugas Leisa
adalah mencatat uang itu.
Leisa mengangguk. Maka tiap Sabtu, ia pun berkeliling,
mengumpulkan iuran Rp 2.500,00 dari teman-temannya. Leisa mencatat dan menaruh
uang itu di dompet khusus. Saat Dhini dan timnya meminta dana untuk membeli
bahan, Leisa tak lupa menulis dan menyimpan bukti pembelian di dompetnya. Suatu
hari..
“Sa, aku lupa bawa dompet nih.
Boleh pinjam uang sebentar, tidak? Besok kuganti,” kata Dhini panik.
Dhini memang selalu naik angkutan
umum ke rumah. Namun hari ini, ia tak sengaja meninggalkan dompetnya di tas lamanya.
Leisa pun merogoh-rogoh saku dan
dompetnya. Tinggal Rp 2.000,00. Pasti tidak cukup untuk ongkos Dhini pulang ke
rumah.
“Yaah,” Dhini kecewa. Tak sengaja ia
melihat dompet khusus tempat Leisa menaruh uang iuran.
“Kalau pinjam uang iuran sebentar,
boleh tidak?”
“Nggak!” geleng Leisa kuat-kuat.
Biarpun Dhini dan Leisa bersahabat,
tapi Leisa tak mau menggunakan uang iuran itu untuk keperluan lainnya.
“Nanti tercampur uangnya,” tegasnya.
Dhini kecewa. Ia tak menyangka
Leisa bersikap setegas itu saat Dhini membutuhkan bantuan. Terpaksa Dhini
bertanya pada teman-teman lainnya.
Dalam hati, Leisa sebenarnya ingin
membantu. Tapi Leisa tahu, ia harus menjadi bendahara yang baik bagi teman-teman sekelasnya.
“Dua ratus ribu.. tiga ratus ribu.. Lho, kok uangnya kurang?” kata Leisa bingung.
Saat itu bazaar telah usai. Leisa masih berjaga di meja kasir dan menghitung
uang penjualan. Mukanya memucat.
"Eh, mm.. aku pulang dulu ya teman-teman, tidak enak badan," kata Leisa membuat alasan. "Nanti biar uang penjualannya kuhitung di rumah ya, sekalian kutambahkan dengan uang iuran yang masih kusimpan," katanya.
"Eh, mm.. aku pulang dulu ya teman-teman, tidak enak badan," kata Leisa membuat alasan. "Nanti biar uang penjualannya kuhitung di rumah ya, sekalian kutambahkan dengan uang iuran yang masih kusimpan," katanya.
Bohong. Selama ini Leisa cuma menaruh
uang iuran dari teman-teman sekelas di dompet khusus yang selalu dibawanya ke sekolah. Ia cuma panik karena mengetahui jumlah uang milik teman-teman yang ia bawa berkurang.
Di rumah, Leisa meneliti ulang buku
catatannya. Ada selisih Rp 75.000,00.
“Ke mana uangnya, ya,” pikir Leisa.
“Coba diingat lagi. Siapa tahu ada
yang terlewat,” perintah Ibu setelah mendengarkan cerita Leisa.
Oh tidak! Beberapa minggu lalu, Leisa
alpa mencatat uang iuran. Beberapa teman memang susah dimintai uang iuran. Namun, beberapa yang lain justru memilih membayar sekaligus untuk beberapa
minggu.
Tadi pagi, Leisa juga
keliru memberi kelebihan uang kembalian pada pelanggan. Selain itu, ada bukti
pembelian yang lupa dicatat.
Muka Leisa pun muram. “Leisa kira,
jadi bendahara itu gampang,” akunya.
Ibu menggeleng. “Bukan berarti
kalau Leisa terbiasa membantu Ibu di kasir, Leisa bisa melakukan sebaik itu
saat menjadi bendahara untuk teman-teman.
“Lebih mudah kalau Leisa bertugas
dengan teman lain, jadi bisa saling mengingatkan saat melakukan kesalahan.
Seperti Mbok Nah yang selama ini selalu mendampingi Leisa di kasir.”
Leisa mengangguk. Ia menghitung ulang.
Selisih uang yang hilang tinggal Rp 50.000,00. Mau tak mau Leisa harus
mengganti uang itu karena ia melakukan kesalahan.
“Tapi mengganti pakai apa ya,”
pikir Leisa bingung.
Leisa tidak mempunyai cadangan uang. Selama ini, Ibu memberikan
uang saku terbatas tiap hari. Ibu juga selalu
mengajarinya menabung di bank, bukan di celengan.
Melihat muka Leisa muram, Ibu
pun memutuskan. “Ya sudah, kali ini, upah dua minggu Leisa, Ibu bayar lebih
awal.”
Tiap akhir minggu, Ibu memang selalu
memberi Rp 25.000,00 setelah Leisa membantu di rumah makan. Bukan supaya Leisa termotivasi mendapat uang, tapi supaya tahu kalau mencari uang itu tidak gampang.
Kini, mau tak mau Leisa harus
membantu Ibu selama dua minggu tanpa bisa membeli peralatan gambar kesukaannya
atau jajan. Meski sedih, tapi Leisa belajar, menjadi bendahara itu tidak gampang.
“Lain kali, aku juga harus teliti
menyimpan uang milik teman-teman!”
0 komentar:
Post a Comment