After a long time, I finally try to write about this topic because two years ago (or longer), my mother suggested me to write a text like student doctor and scout activity at Elementary School. I guessed that was a good idea, but I don't have the strong notion and interest towards those issues. What I remember about my prior experience as student doctor is only about the exciting class about body's health and first aid, the shift duty in each interval between the class session, the competition and.. my phobia over blood. (Last third times I did medical check-up, I almost fainted in those two times in taking blood. Glad that is not only me, because my college friend, Nirmala ever faced the worse).
Anyway, I would like to thank my cousin, Agustitin and Mbak Henrika, my friend in lektor St. Antonius Padua Kotabaru Church, Yogyakarta who supplied me with extensive information over the first aid and immunisation.
Please kindly read, use your imagination and enjoy your time! Hehe. Last but not least, don't forget to put the source if you want to use this story. Don't do any plagiarism, okay?
PS: I'll try to rewrite the story in a better and shorter way as soon as I have a preferable idea ☺
***
Dokter Elsa
“Sa, ada pasien,
tuh!”
Elsa menoleh. Ia
baru selesai membuatkan teh panas untuk pasien yang pingsan saat pelajaran olah
raga. Sementara di pintu UKS, seorang anak berdiri sambil menangis. Kakinya
berdarah.
Elsa bergidik.
“Kamu saja deh, Ga. Aku belum selesai,” tolaknya.
Padahal Elsa hanya
tinggal mencatat nama pasien yang sakit di buku laporan. Ia pun bisa
menundanya. Tapi Elsa tak ingin melihat darah. Kepalanya pusing, lalu mual dan
pingsan kalau melihat darah. Tapi, tak ada yang tahu rahasia itu.
“Masa dokter
kecil takut darah,” pikir Elsa sedih.
Maka saat Arga
mengambil obat merah di kotak P3K, Elsa cuma mengamati dari jauh.
“Eh, jangan
langsung diteteskan! Bilas dulu lukanya di kran,” perintah Elsa.
Arga memutar
bola matanya. “Kalau memang tak boleh, kenapa tidak mengurus pasiennya sendiri
sih,”protesnya.
source: Pinterest. |
Elsa diam saja. Ia
tahu, meski mereka sudah mendapat pelajaran P3K sebelum dilantik, tapi banyak
teman-temannya yang masih ceroboh saat mengobati pasien yang luka. Beda dengan
Elsa yang terlatih sejak kecil karena melihat Papa dan Mama bekerja.
Saat Arga
membasuh luka pasien di air mengalir, Elsa kotak P3K. Ia mengambil kassa dan
melipatnya. Satu lipatan untuk Arga, satu lipatan lagi ia tetesi obat merah.
“Ugh, bau obat,”
keluh Elsa. Tapi ia berusaha menahannya.
“Keringkan dulu
lukanya pakai kassa, lalu obati lukanya dengan ini,” kata Elsa, sebisa mungkin
tidak melihat luka berdarah di kaki pasien Arga.
“Eh, jangan
ditutup dengan perban!” kata Elsa buru-buru. “Luka yang boleh ditutup cuma luka
dalam, berukuran luas, butuh dijahit atau mengalami pendarahan aktif.”
“Kalau kamu
sehebat ini, kenapa tidak ikut lomba dokter kecil sih, Sa?” komentar Arga setelah
selesai.
Kemarin, dalam
pertemuan bulanan, Bu Elsa memang menunjuk Elsa menjadi ketua regu lomba dokter
kecil. Namun, Elsa menolaknya.
Sejak awal ia
memang tidak berminat menjadi dokter kecil. Meskipun Papa dan Mama seorang
dokter, tapi Elsa lebih suka menari. Tapi, Bu Ratna bersikeras mencalonkannya.
Ini karena Elsa
murid berprestasi. Di sekolah, memang hanya murid yang berprestasi yang boleh
dicalonkan sebagai dokter kecil. Alasannya, menjadi dokter kecil itu berat. Tak
jarang mereka harus keluar kelas karena mengikuti pembekalan, berjaga di
belakang teman-teman saat upacara atau saat istirahat sekolah, atau menyiapkan
lomba. Kalau tidak pintar membagi waktu, bisa-bisa murid-murid tersebut tak
dapat mengikuti pelajaran.
Tapi, Elsa tak
bisa bilang kalau ia takut suntikan, darah dan tak suka mencium bau obat.
Teman-teman bisa menertawakannya. Apalagi setelah mereka tahu, tahun lalu Kak
Cynthia, kakak Elsa menjadi ketua regu dan membawa timnya juara lomba dokter
kecil di kota.
Maka Elsa pun
terpaksa berbohong dan mengikuti pelatihan dokter kecil. Namun setelah
dilantik, ia selalu menghindar saat menemui pasien yang terluka dan berdarah. Tak
ada teman-temannya yang curiga. Tapi..
“Sa, setelah ini
tidak ada tes di kelas kan? Jangan lupa bantu Bu Ratna menyiapkan adik-adik
yang akan diimunisasi ya.”
Ups, Elsa lupa!
Hari ini ada imunisasi di sekolah. Elsa benar-benar tidak bisa menghindar kali
ini.
Maka dengan
terpaksa, setelah istirahat, Elsa membantu guru mengarahkan murid-murid kelas
dua untuk diimunisasi. Suasananya ramai sekali. Beberapa murid kelas dua yang
belum diimunisasi menjerit-jerit karena takut. Ada juga yang menangis dan
mencoba lari.
“Eh, tidak
apa-apa! Tidak sakit kok, kan jarumnya tipis,” kata bu dokter menenangkan.
“Lihat, rasanya cuma
seperti digigigt semut kok. Kan tidak sakit ya, Kak Elsa,” kata dokter itu
menyemangati.
Elsa yang
membantu memegangi lengan siswa kelas dua itu tersenyum kecut. Padahal ia sudah
nyaris kehabisan napas karena takut.
“Sini, coba
lihat Kak Elsa diimunisasi. Giliran kelasmu setelah ini kan, Sa?” tanya dokter
yang lain.
“I-iya,” jawab
Elsa pura-pura tidak takut.
Astaga!
Teman-teman sekelasnya sudah datang dan menunggu giliran. Bagaimana Elsa bisa
pura-pura tidak takut di depan teman-teman dan adik kelasnya?
Tapi Elsa
berusaha menahan diri, biarpun kepalanya sudah mulai berkunang-kunang dan mulutnya
terasa pahit.
Cusss..!
“Nah, sudah.
Lihat, tidak sakit kan,” kata dokter yang bertugas ke murid-murid kelas dua
yang melihat.
Mendadak, pandangan
Elsa terasa buram. Bahunya terkulai. Tak sengaja, saat pingsan, kepala Elsa
terantuk meja di depan.
“Kyaaa..!”
Ruang UKS pun gaduh.
Beberapa murid kelas dua yang tadinya diam ikut menjerit-jerit dan menangis
karena takut. Sementara teman-teman sekelas Elsa tak henti memanggil namanya.
Tapi Elsa tak
mendengar dan melihat apa-apa. Saat ia bangun, Mama sudah di sampingnya.
Rupanya tadi karena panik, Bu Ratna menelepon Mama. Untung Mama sedang bertugas
di puskesmas dekat sekolah.
“Ma..,” kata
Elsa lemah.
“Sst, minum teh ini dulu,” perintah Mama
sambil terus mengompres benjolan di dahi Elsa dengan air dingin.
“Elsa pusing atau
mual tidak? Kalau iya, besok kita rumah sakit untuk periksa.
Elsa menggeleng.
Ia malu sekali. Kini semua orang tahu kalau Elsa takut suntikan dan darah.
Elsa pun memutuskan
untuk cerita pada Mama; tentang ketakutannya pada suntikan, darah dan obat, tentang
Elsa yang sejak awal tidak berminat menjadi dokter kecil. Juga, tentang
minatnya yang berbeda dari Mama dan Papa yang berprofesi sebagai dokter dan Kak
Cynthia yang memenangkan lomba dokter kecil tahun lalu. Tapi yang paling
membebani, tentang Elsa yang diminta tidak bisa mengundurkan diri sebagai ketua
regu dokter kecil karena penggantinya harus mengikuti lomba murid berprestasi.
“Mama senang
karena Elsa mau cerita,” senyum Mama. “Kalau Elsa sudah berani cerita pada
Mama, berarti Elsa juga bisa mulai terbuka ke teman-teman dong.”
Benar juga.
Selama ini Elsa selalu menyembunyikan kekurangannya karena tak mau teman-teman
lain tahu dan malu.
“Sekarang, apa
yang bisa Elsa lakukan untuk lomba dokter kecil? Bilang ke Bu Ratna?” kata
Mama.
“Kalau Bu Ratna
benar-benar tidak bisa mengganti Elsa karena tidak ada pengganti lain sebaik
Elsa, bagaimana?”
Elsa diam saja.
Ia bingung harus menjawab apa saat Mama menanyakan pendapatnya.
“Kalau Elsa
boleh mengundurkan diri, Elsa bisa membantu teman-teman belajar untuk mempersiapkan
lomba,” kata Elsa lambat-lambat. “Tapi kalau tidak boleh..”
“Berarti Bu
Ratna dan teman-teman mempercayai Elsa,” komentar Mama. “Kalau orang lain
percaya, Elsa juga harus bisa percaya pada diri sendiri dan membuktikannya.”
“Lihat, Elsa
punya kekurangan di praktek karena takut suntikan, darah dan tak suka bau obat
kan. Tapi apa lagi yang Elsa bisa?” tanya Mama.
“Elsa bisa..
membantu saat praktek penyuluhan dan memimpin kelompok saat lomba cerdas cermat
atau teori.”
Elsa tersenyum.
Mama benar. Ia bisa melakukan banyak untuk timnya. Siapa bilang saat mempunyai
kekurangan, Elsa harus menutupi dan tidak melakukan apa-apa?
“Elsa bisa
membantu di bidang lain, kok!” pikir Elsa.
Inez Hapsari, 30 June 2018.
0 komentar:
Post a Comment